Relasi Kuasa di Balik Maraknya Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus

Relasi kuasa di balik maraknya pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. (Foto: Pixabay)

PARBOABOA, Jakarta - Seorang mahasiswi di Bogor terpaksa membongkar kebejatan dosennya setelah sekian lama dipendam.

Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, mahasiswi yang belum diketahui identitasnya itu, mengaku menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang oknum dosen.

"Hari ini aku mulai memberanikan diri untuk speak up, karena sudah tidak tahan lagi pendam ini semua," tulis akun tersebut dalam keterangan unggahannya dilihat PARBOBOA pada Kamis (5/10/2023).

Mahasiswi yang kini tengah menempuh pendidikan di Universitas Ibn Khaldun (UIKA) itu, menyebut sang dosen kerap mengajaknya untuk bertemu berdua di luar kampus, di tempat sepi yang jauh dari pantauan mahasiswa lain.

"Entah itu dipuncak, reddorz, Bekasi dan Sukabumi," ungkapnya.

Tak hanya itu, sang dosen juga disebut sering melakukan video call dan menyuruhnya untuk mengirimkan foto tanpa busana.

Pihak universitas mengaku sudah mendengar informasi tersebut dan sedang melakukan investigasi terkait kasus ini.

Korban pun diminta agar segera melapor ke bagian Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang ada di kampus UIKA Bogor.

Kasus pelecehan seksual di UIKA Bogor hanyalah satu dari sekian banyak kasus lain yang terungkap.

Pada 2021 lalu, kasus dugaan pencabulan pernah mencuat ke publik setelah muncul pengakuan dari salah seorang mahasiswi di Universitas Riau (Unri).

Mahasiswi jurusan Hubungan Internasional itu mengaku mengalami pelecehan seksual oleh sang dosen saat sedang menjalani bimbingan skripsi.

Dosen tersebut kini sudah ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat Pasal 289 dan 294 ayat (2) KUHP.

Salah seorang mahasiswi di Universitas Sriwijaya (Unsri), juga mengalami nasib serupa.

Ia diduga menjadi korban pelecehan dosen pembimbingnya pada 2021. Dosen tersebut sengaja mengirimkan kata-kata via chat dengan bahasa-bahasa yang melecehkan korban.

Polisi akhirnya resmi menahan sang dosen dan dikenakan Undang-Undang tentang pornografi dengan ancaman 12 tahun penjara.

Laporan serupa juga muncul dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Salah seorang oknum dosen diduga melakukan pelecehan seksual dengan mengirimkan pesan teks yang berisi godaan kepada korban (sexting). 

Bahkan, beberapa percakapan via WhatsApp (WA) berisi godaan dari dosen kepada mahasiswi beredar luas di media sosial pada 2021 lalu.

Pada Mei 2023 lalu, kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan seorang dosen di Bali juga sempat menghebohkan publik.

Awalnya, korban membuat status terkait permasalahan kampus yang diunggah di WhatsApp Story.

Sang dosen kemudian merespons dan meminta untuk menemui korban di kos. Di kamar kos korban, pintu tidak ditutup dan dalam keadaan terbuka.

Korban kemudian memberikan camilan dan biskuit kepada tersangka sambil bercerita tentang keluarga dan proses pembuatan skripsinya. 

Korban saat itu tak menaruh curiga lantaran tersangka merupakan dosen pembimbingnya. 

Saat keduanya duduk berdampingan di atas tempat tidur, sang dosen berupaya untuk menyetubuhi korban. Namun, gagal setelah korban memberontak.

Relasi Kuasa

Sederet persoalan di atas hanyalah representasi dari maraknya kasus pelecehan seksual yang masih belum terbongkar di lingkungan kampus di seluruh Indonesia.

Dalam catatan Komnas Perempuan, kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus menempati posisi tertinggi selama kurun waktu 2015 hingga 2022. 

Pada periode tersebut, sebanyak 35 laporan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang masuk ke Komnas Perempuan.

Sosiolog dari Universitas Nusa Cenda (UNDANA) Kupang, Lasarus Jehamat, melihat fenomena ini dalam kerangka relasi kuasa.

"Menurut saya, kasus demikian lebih karena relasi kuasa dan kekuasaan," ungkap Lasarus kepada PARBOBOA, Kamis (5/10/2023).

Menurut Lasarus, dalam konteks relasi kuasa dan kekuasaan ini, kelompok yang tidak mempunyai akses kekuasaan cenderung menjadi korban dari mereka yang memiliki kekuasaan.

Dalam kaitannya dengan dosen dan mahasiswa misalnya, keduanya berada dalam satu relasi kuasa yang timpang, dimana akses kekuasaan lebih dominan dimiliki oleh dosen ketimbang mahasiswa.

Hal ini yang mendorong sang dosen untuk bebas berbuat apa saja terhadap mahasiswanya, termasuk melakukan kekerasan seksual.

"Ini soal siapa yang memiliki otoritas dan karena itu bertindak sesuka hati dengan kelompok yang tidak memegang kekuasaan," kata Lasarus.

Dalam analisisnya, Lasarus menilai, relasi kuasa secara historis bukanlah sesuatu yang baru, tetapi sudah lama mengakar di Indonesia.

Menurut dia, hal ini tidak terlepas dari mental orang-orang Indonesia yang cukup lama dirantai feodalisme sebagai warisan langsung kolonialisme.

"Nah, relasi begitu sudah lama hadir di Indonesia baik karena mental manusia kita yang terjajah dalam kerangka feodalisme maupun karena struktur dominatif penjajah yang terlalu lama," ungkapnya.

Kekerasan seksual dalam lingkungan kampus, kata Lasarus, hanya bisa dihentikan dengan membongkar kedok kepalsuan ideologi diskriminatif.

"Itu kalau mau hilang kekerasan seksual itu," ungkap alumnus Univesitas Gadjah Mada itu.

Di sisi lain, Lasarus juga menyinggung soal hambatan di dalam klaim keadilan maupun pemulihan bagi para korban. 

Mengingat, masih begitu banyak korban yang enggan untuk membongkar kebejatan dosennya lantaran tak berani atau takut proses perkuliahannya bakal terganggu.

Menurut Lasarus, akar persoalannya adalah "kita terlalu lama dididik menjadi manusia bermental budak. Ini perkara besarnya."

Editor: Andy Tandang
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS