PARBOABOA, Jakarta - Setelah hampir dua tahun berperang dengan Ukraina, Rusia disebut telah menghadapi kesulitan serius dalam pasokan senjata, terutama artileri.
Seorang pejabat Barat yang memilih untuk tidak disebutkan namanya mengungkapkan bahwa Rusia telah menggunakan sekitar 10-11 juta peluru sejak invasi Ukraina pada Februari tahun lalu.
Angka ini cukup besar sehingga Rusia terpaksa mencari pasokan peluru yang lebih besar agar tidak menghadapi risiko kelemahan pertahanan di garis depan medan perang.
Sementara untuk mempertahankan diri dan wilayah terutama di garis depan, Moskow membutuhkan lebih banyak artileri.
Menurut pejabat itu, untuk mengatasi kondisi ini, salah satu langkah yang harus ditempuh Moskow yakni berencana meningkatkan produksi peluru mereka menjadi 2 juta per tahun. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari perkiraan Barat sebelumnya.
Meskipun produksi akan ditingkatkan menjadi 2 juta peluru per tahun, pejabat Barat itu menilai jumlah tersebut masih dianggap tidak mencukupi.
Dalam kesempatan itu, pejabat tersebut juga mengungkapkan bahwa selain masalah peluru, Rusia juga mengalami kekurangan dalam persediaan tank tempur.
Dalam upaya mengatasinya, Rusia berencana meningkatkan produksi tank menjadi 200 unit per tahun di masa mendatang, juga hampir dua kali lipat dari perkiraan Barat sebelumnya.
Namun, pejabat tersebut merasa bahwa angka 200 tank ini masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam perang.
Selama konflik dengan Ukraina, pejabat itu mencatat bahwa Rusia telah kehilangan sekitar 2.000 unit tank, termasuk 4.000 kendaraan tempur lapis baja, lebih dari 100 pesawat, dan mengalami kerugian sebanyak 270.000 korban tewas dan luka.
Rusia Dekati Korut demi Stok Senjata
Demi bisa mengisi kembali stok senjatanya, Rusia diisukan terlibat dalam negosiasi senjata dengan Korea Utara.
Di mata Barat, kunjungan Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu, ke Korut Juli lalu dianggap sebagai tanda keputusasaan Moskow dalam perang Ukraina, di mana mereka meminta bantuan dari negara mitra.
Negosiasi senjata antara keduanya sedang berlangsung hingga saat ini.
Sementara itu, perekonomian Rusia saat ini berada di bawah tekanan karena Moskow mengalihkan sumber dayanya ke operasi militer khusus di Ukraina.
Pemerintah meningkatkan belanja pertahanan tapi mengurangi belanja untuk sektor lainnya. Hal ini dapat memicu risiko kerusuhan sosial dengan latar belakang politik di Rusia.