Cerita Santo si Manusia Silver: Bekerja Penuh Risiko Demi Hidupi Keluarga

Santo Wisnu, manusia silver yang bekerja demi hidupi keluarga. (Foto: Parboaboa/Muazam)

PARBOABOA, Jakarta - Jarum jam menunjukkan pukul 20.00 WIB, sudah cukup malam untuk masyarakat beraktivitas, tapi tidak untuk Santo Wisnu (25). Ia masih berkeliling di jalanan kawasan Pasar Sumber Arta, Kota Bekasi dengan seluruh badan yang dicat dengan warna perak, menggunakan topi koboi, bersarung tangan dan mengenakan kacamata hitam.

Santo mendatangi toko demi toko, rumah demi rumah untuk menjual penampilannya untuk mencari nafkah dengan menjadi manusia perak, atau yang akrab disapa dengan manusia silver. Malam itu, Santo baru dapat Rp20 ribu sejak keluar rumah sehabis maghrib.

Biasanya, Santo mulai menjadi manusia silver pada sore hingga sekitar pukul 23.00 WIB. Kadang juga, ia keluar dari rumah pagi hari, sekira pukul 10.00 WIB, hingga pukul 20.00 WIB.

Menjadi manusia silver dilakoni Santo sejak tahun 2016, saat ia baru lulus SMA di Bandung untuk menambah uang jajan.

“Pas di Bandung melihat ada anak silver, ya udah tongkrongin aja ajak ngobrol, bilang saya dari Jakarta, nanya-nanya pendapatannya berapa terus sistemnya gimana, terus tertarik buat ikutan,” cerita Santo kepada Parboaboa.

Berawal dari coba-coba itu, Santo hingga kini mencari nafkah untuk menghidupi ibu dan adiknya dengan menjadi manusia silver.

Santo merupakan tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal pada tahun 2019. Ia terpaksa mencari uang untuk menghidupi keluarga.

Penghasilannya sebagai manusia silver pun tak menentu. Dalam sehari, ia rerata mendapat Rp60 ribu.

Bahkan, Santo pernah hanya mendapat Rp15 ribu sehari kalau sedang sepi. Sementara jika ramai, atau hari libur, ia bisa memperoleh hingga Rp250 ribu dalam satu hari.

“Biasa orang ngasih itu Rp2 ribu, Rp500 perak, pernah paling gede orang ngasih Rp100 ribu itu di Menteng, ada orang naik mobil bagus terus tiba-tiba ngasih,” katanya.

Santo harus mengatur penghasilannya dengan ketat. Sehari-harinya, ia memberi ibunya sebesar Rp15 ribu hingga Rp20 ribu untuk kebutuhan masak dan makan ibu dan adiknya. Sisanya, digunakan Santo untuk kebutuhannya selama mencari nafkah menjadi manusia silver di jalanan.

Menjadi manusia silver di usia Santo saat ini bukanlah pilihan hidup yang baik. Pekerjaan itu terpaksa ia lakukan karena tak ada kerjaan lain yang lebih layak.

Santo mengaku ingin berhenti bekerja menjadi manusia silver, ia belum mendapat kerja lain.

“Pengen juga kerja yang mendingan, kayak bangunan gitu. Pengen udahan secepatnya sih daripada ngumpet-ngumpet. Udah sempat cari kerja, tapi belum dapat,” ujar Santo.

Manusia Silver Pekerjaan Penuh Risiko

Bagi Santo, bekerja menjadi manusia silver merupakan pekerjaan penuh risiko. Santo harus menghadapi kejaran Satuan Polisi Pamong Praja di jalanan. Ia bahkan pernah dikejar Satpol PP hingga harus bersembunyi di pemukiman warga.

“Pas lagi sepi, dia (Satpol PP) naik mobil. Tumben tuh saya enggak lihat, terus turun ngejar saya. Ya terus saya lari masuk ke gang perumahan. Diam dulu ampe lama, baru keluar lagi,” ungkapnya.

Perlengkapan yang dibawa Santo, ada kotak uang, bubuk silver, dan tas berisi baju ganti. (Foto: Parboaboa/Muazam) 


Pria kelahiran Bekasi ini juga harus menghadapi kerasnya jalanan Ibu Kota. Santo bahkan harus berhadapan dengan preman yang meminta uang padanya. Kejadian itu ia alami di dekat Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan.

“Sudah dapat Rp20 ribuan. Saat itu udah sore, preman datang terus diambil kotak duit saya, terus mulai dari 0 lagi dong,” kata Santo.

Selain konflik tersebut, Santo juga dihantui penyakit kulit jangka panjang, karena menggunakan pewarna tekstil silver berbentuk bubuk untuk mewarnai sekujur tubuhnya. Apalagi pewarna tekstil merupakan zat kimia jika digunakan untuk kulit manusia.

“Kalau kelamaan lebih dari 10 jam badan mulai panas, tapi kalo 6, 7 jam masih biasa aja. Ini kayak pakai baju, kayak ada yang nempel gitu, mangkanya gak terlalu kedinginan juga sih, agak hangat. Alhamdulillah sih belom pernah iritasi. Cuma kalau keseringan nyilver kulit jadi kering terus gelap kayak abu-abu gitu,” kata Santo.

Menyikapi fenomena masyarakat yang menggunakan pewarna tekstil di tubuh, dokter Lulusan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Rifka Raihana menjelaskan, bubuk silver tersebut mengandung bahan kimia seperti vinyl chloride, formaldehida, logam berat, hidrokarbon, dan pelarut.

Bahan kimia itu, lanjut Rifka, bisa mengakibatkan kulit iritasi, alergi, gatal-gatal, nyeri, kemerahan, kering, pecah-pecah, terkelupas, hingga melepuh.

“Selain itu efek jangka pendek lainnya adalah iritasi pada saluran pernapasan. Sementara paparan bahan kimia vinyl chloride dapat mengakibatkan sindrom vinyl chloride. Ini merupakan sindrom yang terdiri dari fenomena Raynaud. Gejalanya berkisar pada wajah yang memucat, mati rasa, dan ketidaknyamanan jari saat terkena dingin. Lalu, ada pula keluhan degenerasi tulang ujung jari, nyeri sendi dan otot, serta kekakuan tangan dengan perubahan kulit,” ujar Rifka kepada Parboaboa.

Bahan kimia bubuk silver juga mempunyai efek jangka panjang terhadap berbagai organ seperti mata dan saluran pernapasan, imbuh Rifka.

Editor: Kurnia
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS