PARBOABOA, Jakarta - Pidato Presiden Joko Widodo dalam Sidang Tahunan MPR 2023 pada Rabu (16/8/2023) memantik beragam sorotan publik di media sosial.
Jokowi disebut-sebut menggunakan forum resmi tersebut sebagai ajang curhat dan bukan membedah beragam persoalan krusial bangsa yang kerap terjadi hari-hari ini.
Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun, membaca pidato Jokowi itu dalam konteks yang sangat politis dengan meminggirkan sejumlah problem serius bangsa mutakhir.
Badrun mengambil contoh soal isu pemberantasan korupsi yang sebetulnya sangat penting untuk diucapkan di forum resmi tersebut, namun hal itu tidak dilakukan Jokowi.
"Padahal indeks korupsi Indonesia terpuruk anjlok hanya mendapat skor 34," ujar Badrun dalam keterangan pers yang diterima Kamis (17/8/2023).
Untuk diketahui, Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia mengalami penurunan empat poin hingga berada di skor 34 pada tahun 2022. Sejumlah aspek yang mengalami penurunan tajam yakni korupsi sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku suap, serta suap untuk izin ekspor-impor.
IPK merupakan indikator komposit untuk mengukur persepsi korupsi sektor publik di 180 negara dan wilayah, dan akan diukur mulai dari skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih).
IPK menjadi salah satu alat ukur global yang merupakan kombinasi dari 13 survei global serta penilaian korupsi menurut persepsi pelaku usaha dan penilaian ahli sedunia sejak tahun 1995.
Selain korupsi, Badrun juga menyoroti soal beberapa isu penting lainnya yang luput dari pembahasan Jokowi, misalnya terkait demokrasi dan pemilu 2024 dan perkembangan atau nasib Ibu Kota Negara (IKN).
Soal IKN, Jokowi memang kerap mendapat kritikan keras dari sejumlah tokoh dan akademisi Tanah Air. Pengamat politik Rocky Gerung, misalnya, yang secara vulgar menuding Jokowi sedang mempertahankan legasinya di penghujung masa jabatan dengan menawarkan IKN ke Cina.
Singgung soal 'Pak Lurah' dan Fitnah
Sebelumnya, dalam pidato di Sidang Tahunan MPR 2023, Presiden Jokowi menyentil soal situasi politik Tanah Air yang yang terlihat cukup memanas menjelang Pilpres 2024 mendatang.
Apalagi, namanya juga kerap disebut sebagai play maker pada kontestasi politik lima tahunan itu. Narasi "Belum ada arahan Pak Lurah," misalnya. Narasi seakan-akan keputusan soal capres dan cawapres ada di tangan Jokowi.
Padahal menurutnya, ia bukan ketua koalisi partai atau ketua partai politik yang memiliki otoritas untuk menentukan capres dan cawapres.
"Tapi perlu saya tegaskan, saya ini bukan Ketua umum parpol, bukan juga Ketua koalisi partai dan sesuai ketentuan Undang Undang yang menentukan Capres dan Cawapres itu Parpol dan koalisi parpol," ungkap Jokowi dikutip PARABOABOA, Kamis (17/8/2023).
Ia kemudian menegaskan, bahwa penentuan capres dan cawapres bukan wewenang 'Pak Lurah' kendatipun tak bisa dipungkiri posisinya sebagai kepala negara tak jarang dijadikan tameng atau alibi untuk mendapat dukungan politik.
Di sisi lain, Jokowi juga menyinggung soal keberadaan presiden yang memiliki tanggung jawab besar dan tidak senyaman sebagaimana yang dipersepsikan publik.
Politisi PDIP itu juga mengaku, selama dirinya menjabat sebagai presiden ia banyak berhadapan dengan problem rakyat, mulai dari persoalan rakyat di pinggiran hingga kemarahan, ejekan, bahkan fitnah dan makian.
"Saya tahu ada yang mengatakan saya ini bodoh, plonga-plongo, tidak tahu apa-apa, Fir'aun, tolol. Ya ndak apa, sebagai pribadi saya menerima saja," ungkapnya.
Jokowi memang mengaku tak mempersoalkan masalah cacian dan hinaan yang kerap diterimanya sebagai pejabat publik, tetapi ia menyayangkan, bahwa atas nama demokrasi budi pekerti luhur bangsa ini mulai hilang.
Orang mulai secara serampangan melampiaskan fitnah dan kedengkian dengan tameng kebebasan berpendapat, yang pada akhirnya melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia.
Karena itu, Jokowi berharap, fitnah dan cacian yang kerap diedarkan setidaknya menjadi kekuatan baru bangsa Indonesia untuk secara bersama merawat moralitas ruang publik.
"Bersatu menjaga mentalitas masyarakat sehingga kita bisa tetap melangkah maju, menjalankan transformasi bangsa. Menuju Indonesia Maju. Menuju Indonesia Emas 2045," tegasnya.