Jokowi Larang Ekspor Minyak Goreng, Sejumlah Pengamat Malah Beri Respon Negatif

Kelapa Sawit (dok Merdeka.com)

PARBOABOA, Pematangsiantar - Indonesia sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia terjebak dalam kelangkaan minyak goreng dan harga yang melambung tinggi di pasaran.

Untuk mengatasi tingginya harga, Kementrian Perdagangan sebelumnya menetapkan harga jual minyak satu harga Rp 14.000. Persoalan harga minyak kemudian akhirnya dapat diselesaikan, namun minyak goreng mendadak hilang dari pasaran dan memicu kelangkaan.

Karena kelangkaan minyak ini semakin parah, Kemendag kemudian menarik aturan satu harga dan mengembalikan harga jual minyak ke harga keekonomian. Memang benar, minyak goreng kembali bermunculan di pasar dan minimarket, namun harganya kembali melambung tinggi.

Setelah perjalanan panjang penyelidikan, akhirnya terungkap jika mafia yang menyebabkan kelangkaan ini ternyata tak lain dan tak bukan adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indrasari Wisnu Wardhana.

Bersama 3 orang lainnya dari pihak swasta, Dirjen Kemendag ini melakukan permainan dalam ekspor minyak goreng, sehingga mereka ditetapkan sebagai tersangka.

Jokowi Larang Eskpor Minyak Goreng dan CPO

Mengingat masalah minyak goreng ini tak kunjung terselesaikan, Presiden Jokowi pun turun tangan dengan mengeluarkan kebijakan larangan ekspor crude palm oil (CPO) dan minyak goreng, yang akan berlaku mulai Kamis (28/4) mendatang.

Sayangnya kebijakan ini tak langsung mendapat sambutan yang baik, beberapa pihak justru mengatakan kebijakan ini akan menimbulkan masalah baru.

Dikutip dari Bisnis.com, Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, pelarangan pelarangan ekspor minyak goreng dan crude palm oil (CPO) akan memicu terjadinya kelebihan pasokan atau oversupply di dalam negeri, bahkan hingga mencapai 60 persen.

“Sehingga, perusahaan-perusahaan besar pengolahan sawit dan minyak goreng akan mulai mengurangi produksi karena kapasitas tanki penimbunan CPO penuh dan terbatas,” ujar Agus, Sabtu (23/4).

Pengurangan produksi ini juga akan menimbulkan masalah baru. Agus mengatakan petani sawit terancam kehilangan penghasilan karena hasil panen tidak ada yang menyerap lantaran pabrik pengolahan menghentikan produksi.

Kemudian Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad juga berpendapat jika masalah ini akan menimbulkan masalah dan kerugian baru bagi Indonesia.

Menurutnya, kebutuhan dalam negeri hanya sekitar 6 hingga 7 juta ton. Sehingga jika larangan ekspor diberlakukan, maka kebanyakan hasil produksi akan membusuk.

"Konsumsi dalam negeri hanya 6 juta ton-7 juta ton, tapi 30 jutaan ton dilarang ekspor mau dikemanakan? Busuk dong?" ujarnya dikutip CNNIndonesia.com.

Tauhid mengatakan seharusnya pemerintah cukup membatasi dan bukan melarang ekspor minyak goreng.

Sementara itu Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, pelarangan ekspor ini justru akan menguntungkan Malaysia yang merupakan saingan Indonesia dalam ekpor CPO.

"Pesaing minyak sawit kita nanti yang bakal tambah senang. Seperti Malaysia sekaligus negara-negara lain kayak Kanada, Argentina yang memproduksi soybean oil, sunflower oil, dan rapessed oil. Karena pasti negara konsumsi akan gerak cepat mencari bahan alternatif itu," terang Bhima kepada MNC Portal Indonesia.

Bagaimana pendapatmu mengenai kebijakan terbaru Jokowi ini? Apakah pelarangan ekspor minyak goreng dan CPO ini sudah tepat?

Editor: -
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS