PARBOABOA, Jakarta - Kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) menjadi fenomena yang memprihatinkan di Indonesia.
Dari waktu ke waktu, angka KBGO terus melonjak. Banyak perempuan dan anak menjadi korban dari nafsu seksual kaum pria.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan peningkatan yang mencolok dalam kasus KBGO, terkhusus selama pandemi yang lalu.
Fenomena ini tidak hanya menyoroti eskalasi kekerasan terhadap perempuan dalam ranah digital, tetapi juga menunjukkan perlunya respons yang lebih tegas dalam menghadapi tantangan ini.
Komisioner Komnas Perempuan, Rini Iswarini, menyebut selama masa pandemi, kasus KBGO mengalami lonjakan yang drastis hingga mencapai 300 persen.
Data menunjukkan bahwa selama tahun 2020 lalu, tercatat 1.617 kasus kekerasan, dengan 1.458 diantaranya merupakan kasus kekerasan berbasis gender.
Pada awal Oktober 2020, sudah ada laporan 659 kasus KBGO yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan, sedangkan pada 2017 hanya terdapat 17 kasus serupa.
Persoalan tersebut umumnya berjalan secara berkelindan dengan maraknya penggunaan internet di kalangan masyarakat.
Menurut Survei Internet Indonesia Tahun 2021-2022 (Q1) oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), terdapat peningkatan yang mencolok dalam penggunaan internet dan media sosial.
Pada 2021 lalu, misalnya jumlah individu yang menggunakan internet di Indonesia mencapai 210.026.769 orang dari total populasi sekitar 272.682.600 jiwa.
Penetrasi internet terhadap populasi juga meningkat signifikan, mencapai 77,02 persen, naik dari 64,80 persen pada 2018 dan 73,70 persen pada periode 2019-2021.
Upaya Preventif
Menanggapi maraknya KBGO, Komnas Perempuan turut memberikan dukungan, advokasi, dan layanan konsultasi kepada para korban yang terdampak kekerasan.
Kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan platform media sosial, menjadi kunci dalam meningkatkan keamanan dan perlindungan bagi perempuan.
Langkah-langkah preventif yang diambil mencakup edukasi publik untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya KBGO, serta penegakan dan sanksi hukum terhadap pelaku kekerasan.
Terpisah, anggota Yayasan Jurnal Perempuan, Maria Noviyanti Meti menegaskan bahwa KBGO merupakan masalah bersama yang harus ditangani secara kolaboratif dan intensif.
"Tidak bisa kalau hanya Komnas Perempuan yang kerja. Harus ada dukungan dari pemerintah, NGO/LSM, dan komunitas-komunitas terkait," ungkapnya kepada PARBOABOA, Kamis (27/06/2024).
Alumni Magister Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu juga menyebut pentingnya perangkat hukum yang holistik dan mengakomodasi kepentingan korban dan jerat hukum kepada pelaku.
"Kita memang telah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), namun penerapannya masih belum sepenuhnya merata," tambahnya.
Ia membenarkan, kerja kolaboratif dengan pemerintah dan semua pemangku kepentingan akan berdampak besar untuk meminimalisasi kasus serupa di masa depan.
Dengan meningkatnya kerjasama lintas sektor, Novy berharap dapat mengimplementasikan langkah-langkah preventif yang lebih efektif untuk mengurangi dampak negatif KBGO.
Pendekatan holistik yang melibatkan semua pihak terkait diharapkan dapat memastikan keamanan dan kesejahteraan perempuan di dunia maya.
Sekilas tentang KBGO
Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) adalah bentuk kekerasan yang terjadi di ranah digital dan ditujukan kepada seseorang berdasarkan gender atau seksualnya.
Sama halnya dengan kekerasan berbasis gender di dunia nyata, KBGO memiliki niat atau maksud untuk melecehkan, merendahkan, atau menyakiti korban karena identitas gender atau seksual mereka.
KBGO dapat terjadi melalui berbagai platform digital seperti media sosial, email, aplikasi pesan instan, dan situs web.
Ragam bentuk kekerasan tersebut melingkupi pelecehan online, doxing atau penyebaran informasi pribadi, distribusi gambar intim tanpa izin, trolling dan flaming, serta stalking online.
KBGO perlu dibedakan dari kekerasan online umum karena penanganannya yang berbeda.
Selain penegakan hukum, intervensi untuk mengubah cara pandang pelaku terkait relasi gender dan seksual juga sangat penting.
Dalam kasus KBGO, solusi yang diperlukan bukan hanya penegakan hukum, tetapi juga intervensi untuk mengubah perspektif pelaku mengenai relasi gender dan seksual dengan korban.
Tanpa intervensi, meskipun pelaku telah dihukum, mereka mungkin masih akan melanjutkan perilaku mereka yang bias gender setelah bebas.
Pengakuan akan keberadaan dan definisi KBGO penting untuk membangun solusi yang lebih efektif serta melindungi dan mendukung korban yang mengalaminya.