Kriminalisasi Pemuda Poco Leok? Polres Manggarai Diadukan ke Mabes Polri dan Kompolnas

Warga Poco Leok Dari Berbagai Latar Belakang Ikut Dalam Aksi Unjuk Rasa Pada 3 Maret 2025. (Foto: Dok.Floresa)

PARBOABOA, Jakarta -  Empat pemuda adat Poco Leok kini berhadapan dengan proses hukum setelah aksi protes mereka terhadap proyek panas bumi berbuntut pelaporan.

Koalisi Advokasi Poco Leok menilai ini bukan sekadar penegakan hukum, melainkan bentuk represi atas perjuangan warga mempertahankan ruang hidup.

Diketahui, Koalisi Advokasi Poco Leok secara resmi mengadukan Polres Manggarai ke Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Mabes Polri dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), pada 16 April.

Laporan ini diajukan oleh dua kuasa hukum dari koalisi, Judianto Simanjuntak dan Yulianto Behar Nggali Mara, yang menilai adanya praktik kriminalisasi terhadap empat pemuda dalam kasus dugaan perusakan pagar kantor bupati saat unjuk rasa.

Dalam aduannya, Koalisi meminta pengawasan ketat atas proses hukum yang sedang berlangsung.

Mereka juga mendorong Itwasum dan Kompolnas agar meminta klarifikasi dari pihak penyidik terkait dugaan kriminalisasi ini, yang mereka nilai sebagai upaya membungkam perjuangan masyarakat adat.

Judianto menyatakan bahwa tindakan terhadap para pemuda merupakan bentuk nyata dari kriminalisasi dan kekerasan negara terhadap masyarakat yang memperjuangkan ruang hidup.

Ia menegaskan perlunya evaluasi terhadap kinerja Satuan Reskrim Polres Manggarai, yang dianggap menyalahgunakan kewenangan.

Empat pemuda ini sebelumnya memimpin aksi protes warga Poco Leok pada 3 Maret di Ruteng, menuntut pencabutan SK penetapan lokasi proyek geotermal yang dikeluarkan Desember 2022.

Usai audiensi dengan Bupati Herybertus GL Nabit yang menolak tuntutan, pagar kantor bupati roboh.

Pemkab Manggarai segera melaporkan kejadian ini, direspons cepat oleh polisi melalui pemasangan garis polisi dan pemanggilan para koordinator aksi.

Satuan Reskrim Polres Manggarai menyatakan akan segera menetapkan dua tersangka dalam kasus ini.

Judianto menilai langkah ini sebagai preseden buruk dalam penegakan hukum nasional.

“Pemuda adat yang terlibat bukan pelaku kriminal, tetapi pejuang hak atas tanah dan ruang hidup,” ujarnya dalam rilis yang diterima media ini, Selasa, (22/04/2025).

Ia bahkan menyebut peristiwa itu tidak bisa disebut pidana karena merupakan insiden dorong-mendorong yang melibatkan aparat, hingga pagar nyaris menimpa massa aksi.

Koalisi meminta Itwasum dan Kompolnas mengeluarkan rekomendasi penghentian penyidikan (SP3).

Laporan ke Mabes Polri diterima oleh Sekretariat Umum dan akan diteruskan ke Itwasum, sedangkan laporan ke Kompolnas diterima bagian pengaduan yang berjanji mempelajari dan menindaklanjutinya.

Selain itu, Koalisi juga mengajukan permohonan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberi perlindungan kepada empat pemuda tersebut.

Permintaan ini disampaikan langsung ke Komisioner LPSK, Mahyudin. LPSK merespons bahwa mereka akan mengawal kasus ini secara serius meski kewenangannya terbatas.

Senada dengan itu,Yulianto Behar Nggali Mara, pengacara dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), menegaskan bahwa kriminalisasi terhadap warga Poco Leok bukan hal baru.

Sebelumnya, beberapa warga juga dipanggil polisi karena mengadang tim proyek yang datang ke lokasi bersama aparat.

Ia meminta Itwasum dan Kompolnas memastikan tidak ada pelanggaran prosedur oleh Polres Manggarai dan menilai bahwa penegakan hukum ini tidak boleh dijalankan secara tergesa hanya karena tekanan atau pesanan pihak tertentu.

Proyek Geotermal

Penolakan warga terhadap proyek geotermal Poco Leok merupakan bentuk perlawanan atas ancaman terhadap ruang hidup, tanah adat, dan budaya.

Proyek ini merupakan bagian dari perluasan PLTP Ulumbu dengan target 2×20 megawatt.

Warga terus mengupayakan penolakan, termasuk menyurati lembaga negara seperti Komnas HAM dan Ombudsman, serta mengadukan proyek ke Bank Pembangunan Jerman (KfW) selaku pendana.

Tim independen yang dikirim KfW bahkan merekomendasikan penghentian sementara aktivitas proyek karena tidak sesuai dengan standar sosial dan lingkungan internasional.

Yulianto menegaskan bahwa akar persoalan ada pada hulu proyek, bukan hanya pada keributan saat aksi.

Penegakan hukum seharusnya tidak menjadi alat untuk membungkam suara kritis masyarakat, melainkan memperhatikan konteks dan latar belakang perjuangan mereka.

Dengan berbagai aduan dan permohonan yang telah disampaikan, Koalisi Advokasi Poco Leok berharap agar proses hukum dapat dijalankan secara adil dan transparan, serta benar-benar berpihak pada keadilan substantif.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS