Pemerintah akan Luncurkan Pasar Karbon di September, LSM Lingkungan: Jadi Jalan Sesat Atasi Krisis Iklim!

Walhi menilai, rencana pemerintah meluncurkan pasar karbon untuk mengatasi krisis iklim pada September mendatang merupakan jalan sesat yang dapat merugikan masyarakat adat. (Foto: PARBOABOA/Hari Setiawan)

PARBOABOA, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, rencana pemerintah yang akan meluncurkan pasar karbon sebagai upaya mitigasi perubahan iklim di September mendatang merupakan jalan sesat yang dapat merugikan masyarakat adat.

Menurut Deputi Internal Walhi M. Islah, pasar karbon tidak akan menyelesaikan masalah iklim, tapi menjadi upaya pemerintah menguasai hutan-hutan di Indonesia.

"Karena karbon menjadi komoditas dan karbon akan dikuasai pemilik modal dan hutan-hutan akan dikuasai. Apalagi jika dibangun sistem pasar, dimodifikasi, dikhawatirkan akan berakhir di tangan beberapa orang saja. Jelas merugikan masyarakat adat dan lokal yang hidup di hutan," ungkapnya dalam sebuah diskusi, Jumat (04/07/2023).

M. Islah juga khawatir perdagangan karbon bisa membahayakan masyarakat, karena nanti semua bisa dikenakan pajak karbon.

"Kita berbayar untuk bernafas dan menurut saya, itu menjadi hal yang mengerikan," katanya.

Sementara itu, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian menilai, perdagangan karbon tidak menjawab akar masalah krisis iklim.

Menurutnya, meski baru akan dimulai September mendatang, sejumlah pihak disebut mulai bergerak memberikan nota kesepahaman kepada masyarakat di sejumlah daerah terkait penyelenggaraan perdagangan karbon.

"Padahal, masyarakat belum banyak mengetahui dengan jelas skema ataupun manfaat dari perdagangan karbon ini," katanya.

Walhi, lanjut Uli, juga menilai, penerapan perdagangan karbon lebih terkesan seperti sebuah upaya perusahaan untuk mencitrakan dirinya ramah lingkungan kepada publik.

"Seharusnya pemerintah mulai tegas untuk menghentikan kegiatan ekstraktif yang tidak ramah lingkungan. Semua pihak juga didorong untuk mengurangi konsumsi energi fosil, daripada mengizinkan industri melepas emisi dengan perdagangan karbon," katanya.

Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), M. Arman menilai, upaya mengatasi perubahan iklim tidak diimbangi dengan pengurangan industri, termasuk upaya pemulihan, pengakuan dan perlindungan kelompok masyarakat yang selama ini menjaga ekosistem hutan.

"Apalagi dalam konteks perdagangan karbon, kami masyarakat adat melihat bahwa bukan sekedar masalah ekonomi, tapi bagaimana menjaga relasi dengan wilayah adat," katanya.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar menilai, pemerintah selalu terburu-buru mengambil langkah tanpa adanya pertimbangan matang jika bicara terkait krisis iklim. Bahkan tak jarang malah menimbulkan masalah baru.

"Urusan perdagangan karbon tidak hanya terkait urusan hutan. Di sektor energi, hal yang sama juga dilakukan pemerintah melalui Kementerian ESDM. Pemerintah disebut akan melibatkan 99 PLTU yang terhubung dengan jaringan listrik PLN yang kapasitasnya kurang lebih 100 mega watt," katanya.

Pemerintah, lanjut Melky, dalam urusan krisis iklim cenderung tidak ingin menyentuh akar persoalan sesungguhnya.

"Kalau kita ingin mengatasi krisis iklim, tapi kita tidak merombak permintaan pasar, tidak membatasi permintaan material dan energinya, maka laju pembongkaran akan terus terjadi. Sama dengan solusi-solusi iklim terkait energi terbarukan," kesalnya.

Melky Nahar menambahkan, jika peluncuran pasar karbon ini dilakukan Pemerintah, maka masyarakat adat dan lokal bisa jadi korban dari rezim politik di Indonesia.

"Mereka (Pemerintah) sengaja abai menyelesaikan krisis iklim. Saya kira kalau hal ini dilakukan, maka sudah jelas masyarakat adat dan lokal terancam oleh urusan politik di kekuasaan dan rezim politik saat ini," tambahnya.

 Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA), Dewi Kartika menilai, langkah Pemerintah Indonesia mencontoh langkah-langkah yang telah diambil oleh negara-negara di Eropa dalam perdagangan karbon bertujuan mencari uang dari rakyat.

"Kritik peluncuran pasar karbon itu hanya konspirasi negara-negara maju yang boleh melepas emisi dengan syarat menyeimbangkan. Secara etik salah," jelas Dewi Kartika.

Ia mencontohkan, Walhi di Kalimantan Barat mendapatkan bukti oknum-oknum pemerintah sudah bergerak sampai saat ini agar masyarakat menyetujui kerja sama pasar karbon dengan iming-iming mendapatkan kesejahteraan.

"Hal ini kemudian akan terus dipercakapkan di level kampung, 'kalian dapat mobil, dapat bulanan'. Bahkan di Kalimantan Barat, tambak udang warga mereka didatangi oknum pemerintah dan perusahaan untuk menawarkan MoU. Walhi di sana juga sempat ditawari Rp400 juta. Problem etiknya tidak begitu dan itu yang harus dipertahankan. Perlawanan terus diperjuangkan," cerita Dewi Kartika.

Ditambahkannya, LSM lingkungan sangat tidak setuju atas langkah yang akan diambil Pemerintah Indonesia terkait perdagangan karbon ini, karena sudah jelas merugikan masyarakatnya sendiri.

"Secara tegas kami menyampaikan tidak setuju dan menolak keras untuk langkah yang akan dilakukan pemerintah, karena ini jalan yang salah dan rakyat jadi korban," pungkas Dewi Kartika.

Editor: Kurniati
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS