PARBOABOA, Jakarta - Organisasi kemasyarakatan (ormas) kini semakin jauh dari jati dirinya sebagai wadah aspirasi rakyat.
Dalam sejumlah kasus, ormas bahkan berubah fungsi menjadi alat tekanan yang mengarah pada praktik premanisme.
Tindakan intimidatif, pemaksaan kehendak, hingga kekerasan kerap mewarnai aktivitas beberapa ormas di lapangan.
Padahal, secara ideal, ormas seharusnya menjunjung tinggi prinsip demokrasi, kebhinekaan, dan supremasi hukum.
Salah satu kasus yang baru-baru ini mencuat terjadi di Jalan Pondok Rangon, Kampung Baru, Kelurahan Harjamukti, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat.
Pada Jumat (18/04/2025) dini hari, tiga mobil polisi dibakar saat petugas hendak menangkap TS, tersangka kasus penguasaan lahan dan kepemilikan senjata api.
TS diketahui memiliki keterkaitan dengan ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya. Aksi brutal ini menggambarkan bagaimana kekuatan ormas bisa berubah menjadi ancaman nyata bagi penegakan hukum.
Lebih dari itu, keberadaan ormas yang bertindak di luar jalur hukum juga menciptakan keresahan di kalangan pengusaha dan investor.
Salah satu contohnya adalah gangguan terhadap pembangunan pabrik mobil listrik milik perusahaan China, BYD, di Subang, Jawa Barat.
Proyek besar bernilai 1 miliar dolar AS ini sebenarnya ditujukan untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi ekspor kendaraan listrik dengan kapasitas 150.000 unit per tahun.
Namun, proses pembangunannya sempat terkendala oleh tindakan premanisme yang dilakukan oleh kelompok ormas.
“Ketika ormas bertindak di luar hukum, seperti mengintimidasi investor atau melakukan kekerasan, itu bukan lagi bagian dari kebebasan berpendapat, melainkan ancaman terhadap ketertiban umum, kebebasan ekonomi, dan kepastian hukum,” ungkap Manajer Riset dan Program dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, Kamis (24/04/2025).
Tindakan-tindakan semacam ini jelas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, yang merupakan perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Dalam Pasal 59 ayat (3) huruf c, diatur secara tegas bahwa ormas dilarang melakukan kekerasan, mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, serta merusak fasilitas umum atau sosial.
“Keberadaan ormas sejatinya adalah bagian penting dari demokrasi. Mereka bisa menjadi saluran aspirasi warga, pelindung nilai-nilai lokal, atau mitra pemerintah dalam pembangunan,” tegas Felia.
Apabila sebuah ormas terbukti melanggar ketentuan tersebut, maka pemerintah dapat menjatuhkan sanksi administratif dan/atau pidana.
Sanksi administratif meliputi peringatan tertulis, penghentian kegiatan, hingga pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Peringatan hanya diberikan satu kali dalam jangka waktu tujuh hari kerja. Bila tidak diindahkan, Menteri Dalam Negeri atau menteri yang membidangi hukum dan HAM berwenang menghentikan kegiatan ormas tersebut. Jika pelanggaran berlanjut, pencabutan izin pun dapat dilakukan.
Wakil Ketua Komisi VII DPR, Evita Nursanty, turut menyoroti perilaku ormas yang kian menjurus pada tindakan premanisme.
Ia mendesak agar pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap keberadaan ormas, bahkan pembubaran apabila memang terbukti meresahkan.
"Keberadaan ormas seharusnya menjadi mitra dalam menjaga ketertiban sosial, bukan menjadi sumber keresahan publik," ujar Evita dalam sebuah keterangan, Kamis (24/4/2025).
Evita menerangkan bahwa jika ada ormas yang justru menjadi ancaman bagi rakyat, "maka sudah saatnya dilakukan evaluasi menyeluruh, bahkan pembubaran jika diperlukan."
Menurutnya, evaluasi ini penting karena eksistensi ormas semacam itu dapat merusak iklim investasi dan ekonomi nasional.
Tidak sedikit kasus premanisme bermotif ormas terjadi di kawasan industri maupun lokasi pariwisata. Hal ini berdampak langsung pada kenyamanan pengusaha maupun wisatawan.
"Tentunya ini sangat merugikan dunia usaha pariwisata dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Saat wisatawan merasa terganggu, akhirnya mereka malas untuk pergi ke obyek wisata yang dikenal dengan banyak pungli. Ada juga yang merasa takut mendapat tindak kekerasan," tutup Evita.
Peluang Revisi UU Ormas
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menyatakan kemungkinan dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Pernyataan ini muncul sebagai respons atas banyaknya kasus pelanggaran aturan oleh sejumlah ormas yang dinilai keluar dari semangat awal pembentukannya.
Menurut Tito, pada awalnya ormas dibentuk sebagai perwujudan kebebasan berserikat dan berkumpul, serta kebebasan menyampaikan pendapat yang dijamin oleh konstitusi.
Namun, seiring perkembangan zaman, dinamika dan praktik di lapangan menunjukkan adanya penyimpangan dari nilai-nilai tersebut.
“Undang-undang ormasnya kami akan melakukan evaluasi. Karena kami paham dulu kan ormas itu dibuat, dibentuk untuk adanya kebebasan berserikat dan berkumpul di samping kebebasan menyampaikan pendapat,” ujar Tito saat di Jakarta, Jumat (25/04/2025).
Salah satu aspek yang menurut Tito perlu menjadi perhatian dalam evaluasi adalah terkait dengan pengelolaan keuangan ormas.
Ia menilai bahwa alur penggunaan dana dapat menjadi indikator penting untuk menelusuri potensi penyalahgunaan fungsi organisasi tersebut.
Tito pun menegaskan bahwa meskipun Kementerian Dalam Negeri dapat mengusulkan evaluasi terhadap regulasi tersebut, keputusan akhir tetap berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Nanti DPR yang membahasnya dan menjadi keputusan,” tambahnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, juga menyoroti peran ormas yang dianggap mengganggu kegiatan usaha dan merusak iklim investasi di berbagai daerah.
Ia mendesak pemerintah untuk bersikap tegas terhadap ormas-ormas yang dinilai meresahkan masyarakat.
Dalam pandangannya, UU Ormas bisa dijadikan sebagai dasar hukum untuk membubarkan ormas yang menyimpang, sebagaimana pernah dilakukan terhadap Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).
Ia juga menekankan pentingnya evaluasi terhadap ormas yang meskipun telah berbadan hukum, tetapi menyalahgunakan legalitasnya untuk kepentingan pribadi atau sebagai alat premanisme.
“Saya kira itu perlu dievaluasi oleh Mendagri, ini negara yang sudah diatur dengan sistem demokrasi, semua harus dilihat dari cara pandang kita itu sebagai warga negara adalah taat hukum,” ujar Aria di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (24/04/2025).