PARBOABOA, Jakarta - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) membantah isu manuver yang dilakukan kadernya, Joko Widodo (Jokowi) hingga akhirnya merestui putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka menjadi pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024 disinyalir karena gagal menggaungkan isu tiga periode kepemimpinannya.
Namun, isu tersebut dibantah Ketua DPP PDIP Puan Maharani.
"Tidak, tidak pernah, karena saya yakin Presiden Jokowi tidak meminta 3 periode, kan sudah jelas di konstitusi itu tidak boleh," katanya kepada PARBOABOA di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis siang (26/10/2023).
Pasal 7 Undang-Undang 1945 tidak mengizinkan perpanjangan jabatan hingga 3 periode. Jabatan presiden di Indonesia tetap 2 periode.
"Kalau ada perpanjangan itu mekanismenya dari mana? Kemudian seperti apa? Waktu itu kan tidak ada mekanismenya yang kemudian mengizinkan untuk kita melakukan perpanjangan atau melakukan 3 periode," kata Puan.
Namun ia tidak menjelaskan rinci soal renggangnya hubungan Presiden Jokowi dengan PDIP. Puan berdalih Jokowi merupakan sosok negarawan yang mengabdi untuk masyarakatnya.
"Presiden Jokowi ini sosok negarawannya tinggi, karena salah satu Presiden untuk masyarakat Indonesia dan tidak memihak kepada siapapun kepada 3 calon," jelasnya Puan Maharani sambil langsung naik mobil untuk pulang.
Sebelumnya, Wakil Ketua Tim Koordinasi Relawan Pemenangan Pilpres (TKRPP) PDIP Adian Napitupulu dalam akun Instagramnya, @adian_napitupulu mengatakan hal yang membuat Presiden Jokowi renggang dengan PDIP karena partai berlambang banteng bermoncong putih itu tidak mengabulkan memperpanjang masa jabatan agar diperpanjang atau 3 periode.
"Ketika kemudian ada permintaan tiga periode, kita tolak. Ini masalah konstitusi, ini masalah bangsa, ini masalah rakyat, tidak bisa kita setujui. Kemudian ada pihak yang marah, ya terserah mereka," katanya dikutip PARBOABOA, Rabu (25/10/2023) malam.
Dalam postingannya, Adian menegaskan, PDIP menolak keras permintaan tersebut karena patuh terhadap konstitusi di Pasal 7 UU 1945 dan PDIP ingin menyelamatkan negara dan rakyat Indonesia.
"Lalu minta rekomendasi calon presiden, dikasih lagi. Kedua kali dikasih lagi, lalu minta untuk anaknya, dikasih lagi. Lalu minta untuk menantunya, dikasih lagi. Ketika ada permintaan TIGA PERIODE, kita tolak," tegasnya.
Pengamat Politik Sinyalir Ada Sosok Bangun Narasi PDIP Main Dua Kaki
Pengamat Komunikasi Politik di Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mensinyalir ada seorang sosok yang membangun narasi seolah-olah PDIP bermain dua kaki.
Apalagi PDIP tidak mendepak Gibran yang juga putra sulung Jokowi dari keanggotaannya setelah diusung menjadi bakal calon wakil presiden Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
"Jika hal itu dilakukan oleh PDIP, maka bisa menutup peluang partai itu masuk kembali ke lingkar kekuasaan, jika pasangan Prabowo-Gibran memenangkan pemilihan presiden 2024," ungkapnya kepada PARBOABOA melalui sambungan telepon, Kamis siang (26/10/2023).
Menurutnya, sosok orang yang membangun narasi tersebut tidak paham betul karakter politik PDIP selama ini.
"Secara ideologis, sosok ini tidak paham bahwa PDIP memiliki pendirian politik yang tegas," ujarnya Emrus.
Oleh karenanya, aspek komunikasi politik motif narasi yang dikembangkan orang tersebut bertujuan menggiring opini publik untuk kepentingan politik pragmatis.
Sehingga, jika Gibran tidak dipecat, opini publik yang terbangun, PDIP seolah bermain dua kaki. Tapi jika Gibran dipecat, kelompok kekuatan politik itu akan memainkan politik playing victim sebagai orang yang dizalimi dan hal ini dapat disebut sebagai politik jebakan batman.
"Sekarang ini Gibran sudah menjadi realitas politik sebagai bakal calon wakil presiden yang diusung 9 partai, karena itu, sebaiknya secara ksatria Gibran seharusnya justru mengajukan mundur diri partai awalnya," kata Emrus.
Ia juga menilai, PDIP hingga saat ini sangat jelas garis politiknya dan partai ini lahir sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru. Apalagi tidak ada partai di Indonesia yang setegas dan seberani PDIP, sehingga tidak jarang beberapa partai politik menunjukkan politik pragmatisnya.
"Prabowo dengan Partai Gerindra pada Pilpres 2019 mengambil posisi kompetitor bagi Jokowi yang diusung PDIP. Di Pemilu 2019 PDIP menang di Pileg dan Pilpres yang membuat Jokowi menjadi presiden dua periode," ungkapnya.
Pragmatis lain, pemerintahan di tangan Jokowi membuat Prabowo dari kompetitor yang setara dengan Jokowi pada Pilpres 2019, rela dan serta merta menjadi pembantu Jokowi di pemerintahan.
Sikap Prabowo itu karena sikap dan perilaku politik yang belum mempunyai garis yang tegas secara ideologis. Apalagi sejatinya Prabowo dan Partai Gerindra berada di luar kekuasaan sebagai oposisi bagi pemerintahan Jokowi.
"Sebab, peran oposisi sama mulianya dengan pemerintah bagi rakyat. Oposisi bisa melakukan kontrol terhadap kekuasaan. Tapi acapkali ada partai politik dan aktor politik tertentu masih lebih baik memilih 'menghambakan' diri terhadap kekuasaan. Sikap dan perilaku politik semacam ini dipastikan merusak tatanan demokrasi di Indonesia, yang diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa terutama gerakan mahasiswa tahun 1998 dengan tangisan dan air mata," jelasnya.
Sedangkan PDIP bukanlah partai yang berdiri di atas politik pragmatis, lihat saja masa pemerintahan SBY dua periode, PDIP mengambil garis posisi yang tegas di luar pemerintahan atau oposisi, pungkas Emrus.