PARBOABOA, Jakarta – Kelompok perempuan memiliki peran penting dalam program perhutanan sosial, selain mendapat kepastian hukum terkait lahan garapan, juga berkontribusi dalam meningkatkan kondisi ekonomi keluarga.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Adinda Tenriangke Muchtar diterima Parboaboa melalui pers rilis saat melakukan audiensi dengan Kementerian Pertanian yang diselenggarakan secara daring terkait hasil penelitian dengan judul “Partisipasi Perempuan dalam Program Perhutanan Sosial”, Rabu (08/03/2023).
Hanya saja, kata Adinda, partisipasi perempuan dalam Program Perhutanan Sosial masih belum maksimal dan menemui sejumlah tantangan, seperti jumlah perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang di dalam kelompok tani hutan (KTH) akibat prosedur kepesertaan program perhutanan yang berbasis kepala keluarga.
Sehingga, alokasi peran yang diberikan berdasarkan gender dibandingkan memberikan ruang setara dan luas untuk partisipasi perempuan yang bermakna, khususnya dalam pengambilan keputusan di KTH, hingga adanya perbedaan upah antara buruh tani hutan laki-laki dan perempuan.
“Kami mengamati proses pengelolaan hutan dalam program perhutanan sosial dan melihat bahwa proses tersebut masih didominasi oleh laki-laki. Walaupun, proses memetik atau memanen kopi misalnya, rata-rata adalah perempuan. Dominasi perempuan dalam proses pengelolaan ini yang berdampak pada adanya “gender pay gap” yang menjadi salah satu persoalan yang ikut membatasi partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan,” ujar Adinda.
Oleh karena itu, Ini juga menjadi salah satu alasan penelitian ini merekomendasikan KTH khusus bagi perempuan.
Menanggapi hal itu, Koordinator Perlindungan Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) Kementerian Pertanian, Dede Sulaeman mengapresiasi penelitian ini dan mendorong agar hasil penelitian ini memberikan pembaharuan data mengenai partisipasi perempuan dalam konteks perhutanan sosial.
“Serta menjadi momentum untuk meningkatkan partisipasi perempuan secara lebih bermakna dan bukan hanya formalitas di kehadiran semata,” kata Dede.
Dede menjelaskan, yang perlu untuk dilihat terkait partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan dalam program perhutanan sosial adalah keterlibatan perempuan di hilir.
Serta pentingnya mendorong kemajuan partisipasi perempuan tidak hanya di sisi hilir, namun juga hulu dan tergantung jenis kegiatan dan pilihan perempuan untuk berpartisipasi.
“Jadi, secara teori, semakin ke hilir itu harusnya partisipasi perempuan semakin banyak. Karena semakin ke hilir, resikonya semakin berkurang. Nah ini yang perlu dilihat,” jelas Dede.
Dede juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas perempuan tani hutan. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan di KTH.
“Yang terpenting adalah peningkatan kapasitas perempuan. Jadi, perempuan bukan hanya sekedar hadir secara fisik, tapi juga dapat berpartisipasi secara lebih kuat, produktif, dan bermakna,” ujar Dede.