PARBOABOA, Medan - Pengamat pendidikan, Ari S. Widodo menilai, kekerasan dan intimidasi rentan terjadi saat perpeloncoan yang biasa terjadi saat dan setelah masa Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB). Apalagi secara historisnya, perpeloncoan telah berlangsung sejak akhir 1980an.
Budaya perpeloncoan itu, kata Ari, biasanya dilakukan tidak secara terbuka, namun diatur oleh kegiatan mahasiswa dan dilakukan oleh kelompok mahasiswa, sehingga minimnya pengawasan dari kampus.
"Secara sosiologis hal ini bertahan salah satunya karena budaya Indonesia yang cenderung patriarki dan adanya keinginan untuk menjaga sistem senioritas. Pelaksanaan seringkali dilakukan oleh kelompok mahasiswa dengan berbagai dalih dan alasan," katanya kepada PARBOABOA, Sabtu (19/8/2023).
Menurut Dosen di LSPR Institute of Communication and Business ini, senioritas bukanlah hal yang buruk, namun saat perpeloncoan, senioritas bisa menjadi masalah, karena sering berjalan tanpa pengawasan, sehingga rentan terjadinya kekerasan dan intimidasi kepada siswa baru.
"Bagi kegiatan atau pekerjaan yang memang memerlukan pembinaan khusus seperti militer, maka sudah ada pola pelatihan khusus yang dikembangkan. Di samping itu, kegiatan seperti militer memiliki aturan-aturan yang sangat ketat dan diawasi dengan ketat pula," katanya Ari Widodo.
Ia juga menyebut, tanpa kekerasan, perpeloncoan sudah berbentuk tekanan secara mental dan jika perpeloncoan tidak diawasi, rentan terjadi perundungan secara verbal maupun fisik.
"Risiko terbesar adalah ketiadaan pengawasan berakibat serius. Sejarah sudah banyak mencatat banyaknya siswa junior yang dianiaya hingga cedera dan bahkan meninggal oleh senior mereka. Beberapa kasus bahkan terjadi dalam lingkungan kampus," kata Ari.
Selain itu, dampak dari perpeloncoan yang dilakukan tanpa pengawasan akan menyebabkan trauma yang mendalam. Apalagi banyak riset menunjukkan perpeloncoan berdampak trauma yang mendalam. Salah satu bentuk trauma atau luka emosional adalah adanya kecenderungan mereka yang dulu adalah korban menjadi pelaku saat mereka ini menjadi senior.
"Namun sayangnya dulu hal ini seringkali tidak dianggap serius sampai ada korban luka-luka atau bahkan meninggal," ungkapnya.
Ari kemudian membandingkan tradisi perpeloncoan di Indonesia dengan sistem penerimaan siswa baru di luar negeri. Di Amerika Serikat, perpeloncoan sendiri sudah dilarang oleh hukum karena banyaknya korban. Tidak hanya itu, pelaksanaan masuknya siswa baru di berbagai negara juga tidak lagi menggunakan perpeloncoan.
“Kalau perpeloncoan dijadikan alasan untuk membuat siswa menjadi lebih baik, maka argumentasi itu patah dengan kenyataan di negara-negara yang jauh lebih maju dari Indonesia secara teknologi, ekonomi dan pendidikan kegiatan perpeloncoan ini tidak ada," pungkas dia.
Sebelumnya, salah seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Stambuk 2021, Reza, mengakui pelonco justru terjadi setelah 2 hingga 3 hari setelah PKKMB.
"Ya memang enggak pernah ada waktu PKKMB, adanya sekitar 2 hingga 3 hari setelah PKKMB," katanya.
Reza menyebut, perpeloncoan dibuat oleh kelompok-kelompok mahasiswa di jurusan.
"Biasanya justru dibuat di luar lingkungan kampus, biar tidak dipantau kampus," jelasnya.
Selain itu perpeloncoan biasa terjadi saat senior di kampus membuat event untuk mahasiswa baru.
"Kalau dahulu namanya inagurasi atau inisiasi di beberapa fakultas tapi karena kedua kata itu sudah berkonotasi buruk jadi sekarang diganti judulnya menjadi penyambutan mahasiswa baru, malam keakraban, atau fun night," ujar Reza.
Ketika ditanya bagaimana senior tersebut mempromosikan acaranya hingga mahasiswa mau mengikuti, Reza mengatakan biasanya promosinya itu dibarengi dengan ancaman.
"Ancamannya bermacam-macam, mulai dari menyebut kegiatan tersebut merupakan syarat kelulusan, ancaman akan dikucilkan, sampai kepada ancaman tidak bisa masuk organisasi apapun di kampus," ungkap dia.