PARBOABOA, Pematangsiantar – Tarian tortor merupakan sebuah ikon budaya Suku Batak yang memukau, telah berakar dalam tradisi sejak zaman purba.
Tari ini bukan sekedar gerakan, melainkan sebuah ritual sakral yang menyampaikan doa, harapan, dan perlindungan kepada roh leluhur dalam berbagai upacara penting seperti perayaan kematian, panen, dan penyembuhan.
Namun, seiring berjalannya waktu, makna tari tortor ini mulai terkikis. Raminah Garingging, seorang maestro seni terkemuka di Pematangsiantar, menangkap perubahan ini dengan rasa prihatin.
"Saya merasa keberatan dengan cara generasi sekarang mengadopsi tarian tortor," ungkapnya kepada PARBOABOA, menyoroti pergeseran yang terjadi pada Rabu,(17/04/2024).
Menurut Raminah, banyak di antara generasi muda yang belum sepenuhnya memahami makna dan nilai yang terkandung dalam tarian ini.
Raminah, yang telah berusia hampir seabad ini, berpendapat bahwa sebelum mengeksplorasi varian kontemporer dari tortor, penting bagi pelajar untuk memahami dan menghormati bentuk asli tarian ini. "Melakukan tortor tanpa memahami maknanya itu tidak berguna," tegasnya.
Dalam semangat pelestarian budaya, Raminah membuka pintu bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mempelajari tari tortor tradisional bersamanya.
Melalui sesi latihan yang diselenggarakan, ia berharap dapat menanamkan pemahaman yang lebih dalam tentang seni dan nilai-nilai yang diwakilkan oleh tarian tortor, memastikan bahwa warisan ini tetap relevan dan dihargai, tidak hanya di Sumatera Utara tetapi di mana pun dan kapan pun.
Tortor Simalungun
Sultan Saragih, seorang budayawan, menguraikan evolusi tari Tortor Simalungun, dari bentuk tradisionalnya hingga versi kontemporer.
Menurutnya, tari Tortor telah lama menjadi elemen penting dalam kebudayaan Batak. "Dulu, setiap wilayah di sekitar Danau Toba memiliki versi Tortor-nya sendiri, termasuk Simalungun," terang Sultan.
Meskipun masing-masing memiliki karakteristik unik, tortor dari berbagai daerah Batak tetap menunjukkan kesamaan dan perbedaan tertentu. Tortor Simalungun dikenal dengan gerakannya yang lembut dan elegan.
Tortor secara tradisional merupakan bagian dari ritual keagamaan atau doa, dilakukan dengan penuh penghayatan dan keseriusan. Karena dianggap sebagai bentuk doa, gerakan dalam Tortor cenderung sederhana tetapi penuh makna. Pada masa itu, kepercayaan agama Parmalim sangat berpengaruh di Tanah Batak.
Lebih dari sekedar ritual doa, Tortor juga berfungsi sebagai media komunikasi dengan leluhur dan alam sekitar. Meskipun gerakannya sederhana, tortor memiliki kekuatan spiritual yang signifikan.
Pada umumnya, penonton tortor pasti akan terpikat oleh aura magis yang terpancar dari tarian tersebut, yang memberikan pengalaman yang mendalam dan berkesan.
Setiap Tortor mengungkapkan aspek tertentu dari kehidupan masyarakat pada zamannya. Misalnya, Tortor Tukkot Malehat digunakan untuk menangkal bencana, sementara Tortor Sombah diadakan untuk menghormati kedatangan seorang raja.
Tortor Sitalasari dipentaskan untuk memperingati kejayaan adat istiadat, dan Tortor Martonun bercerita tentang perempuan ahli menenun di masa lalu. Tortor Ija Juma Tidahan mengekspresikan kegiatan bercocok tanam, dan Tortor Haroan Bolon diadakan sebagai ungkapan syukur setelah panen.
Simalungun juga kaya dengan variasi Tortor lainnya, seperti Tortor Manduda, Imbou Manibung, dan Panak Boru Uou. Setiap tarian memiliki gerakan dan tujuan yang spesifik, bukan sekadar pertunjukan sembarangan.
"Tortor di zaman dahulu bukanlah bentuk seni yang sederhana; ia memiliki kedalaman makna yang harus dipahami dan dihayati dengan seksama," tutur Sultan.
Ini menunjukkan bahwa setiap gerakan dalam Tortor bukan hanya estetis tetapi juga sarat dengan nilai-nilai budaya dan spiritual.
Pergeseran Esensi Tortor
Seiring dengan perkembangan zaman, esensi tarian tradisional Tortor telah mengalami perubahan signifikan. Transformasi ini berawal ketika agama-agama samawi mulai berpengaruh.
Agama-agama ini, yang berperan dalam membangun hubungan antara manusia dan Yang Ilahi, telah memodifikasi makna dan tujuan dari Tortor. Meskipun demikian, prinsip-prinsip dasar dan gerakan-gerakan asli Tortor tetap dipelihara.
"Tidak semua unsur Tortor terpengaruh oleh agama-agama samawi; namun, esensinya telah berubah." jelas Sultan. Awalnya, Tortor bertujuan untuk berkomunikasi dengan leluhur dan alam, namun sekarang fokusnya bergeser menjadi bagian dari ritual upacara.
Fenomena ini juga terlihat pada Tortor Simalungun, dimana pencampuran gerakan baru dengan pengaruh budaya asing telah menciptakan dinamika budaya yang kaya.
Di era modern, Tortor mengalami evolusi lebih jauh dari esensi aslinya. Tortor kini lebih sering dianggap sebagai hiburan daripada sebagai sarana komunikasi spiritual. Lebih lanjut, kemajuan teknologi memungkinkan tortor ditampilkan melalui media sosial, seringkali dengan sentuhan budaya lain, menjadi karya kreatif yang baru.
Sultan mengakui bahwa penerapan Tortor kontemporer oleh generasi milenial telah memperkaya dunia seni. Namun, ia menekankan pentingnya untuk tidak melupakan makna dan nilai dari Tortor tradisional yang telah ada sejak zaman dulu.
Menurut Sultan, para seniman Tortor saat ini perlu memahami dengan baik Tortor tradisional dan sejarahnya agar dapat mempertahankan serta mewariskan seni dan budaya tersebut.
Sayangnya, literatur tentang Tortor tradisional masih sangat terbatas, yang menyebabkan kurangnya pemahaman dan apresiasi terhadap warisan ini.
Akibatnya, Tortor kontemporer sering kehilangan akar sejarahnya dan hanya fokus pada gerakan tanpa menyampaikan cerita atau makna yang mendalam seperti Tortor masa lampau.
Dalam mengatasi tantangan ini, Sultan mengusulkan membuat pertunjukan baru yang menggabungkan unsur Tortor tradisional dan kontemporer.
Ia berharap, enam bagian dari Tortor tradisional ditampilkan berselang-seling dengan dua bagian dari Tortor kontemporer, sehingga, kombinasi ini akan menarik minat generasi milenial tanpa membuat mereka merasa bosan.
'Tapi, Oppung Raminah Garingging, tidak setuju dengan pendekatan tersebut,' ujarnya dengan tawa.
Sultan menjelaskan bahwa perubahan esensi Tortor telah membuat generasi muda melihatnya hanya sebagai hiburan, tanpa memahami filosofi di balik setiap gerakannya.
Meskipun ada dampak positif dari komersialisasi Tortor, seperti meningkatnya popularitas dan aksesibilitasnya, Sultan khawatir bahwa komersialisasi berlebihan dapat merusak nilai dan makna Tortor.
Menurutnya, penting untuk menjaga keseimbangan antara mempromosikan tortor sebagai warisan budaya dan mempertahankan integritas seni serta makna budaya, agar komersialisasi memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan sambil menjaga kelestarian warisan budaya.
Sebagai budayawan, Sultan berada di persimpangan yang menantang; di satu sisi, dia ingin mempertahankan kemurnian Tortor masa lampau sebagai bagian penting dari warisan budaya lokal, namun disisi lain, dia menyadari adanya fenomena Tortor kontemporer yang cenderung sebagai hiburan semata.
Tantangannya adalah menjaga keseimbangan antara memelihara keaslian Tortor tradisional sekaligus membuka diri terhadap perubahan dalam konteks modern, sehingga ia berharap dapat menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini, untuk memastikan Tortor tetap relevan dan berarti bagi masyarakat modern.
Peran Dunia Pendidikan
Sejarah Tortor telah melalui berbagai tahapan perubahan makna yang menarik. Pada awalnya, tarian Tortor tradisional memiliki peran penting sebagai sarana komunikasi dengan leluhur dan alam sekitar, sebuah praktik yang dipahami dan dihormati oleh generasi-generasi terdahulu.
Namun, seiring masuknya pengaruh agama-agama samawi, terjadi pergeseran dalam pemikiran masyarakat yang secara bertahap mengurangi peran spiritual Tortor dalam menjalin hubungan dengan leluhur. Perubahan ini menandai fase baru dalam interpretasi dan praktik Tortor.
Perkembangan teknologi modern, terutama di era digital, telah memberikan dampak yang signifikan terhadap generasi muda. Ketertarikan mereka terhadap hiburan instan seringkali membuat mereka kurang paham dan kurang memiliki akses terhadap warisan budaya tradisional, termasuk Tortor.
Menghadapi situasi ini, Sultan menyuarakan harapannya agar pendidikan dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan generasi muda dengan sejarah Tortor.
Menurut Sultan, dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang asal-usul, evolusi, dan makna Tortor, generasi muda dapat lebih menghargai kekayaan warisan budaya yang telah diwariskan oleh leluhur.
Budaya Selalu Dinamis
Seorang ahli humaniora, Suryo Adi Sahfutra berbagi wawasannya mengenai evolusi warisan budaya yang dinamis, seperti tarian Tortor, sebuah tarian yang telah berkembang dari era tradisional hingga modern.
Menurut Suryo, memahami budaya bukanlah sesuatu yang statis, melainkan proses yang selalu berubah. "Warisan budaya, yang kita kenal hari ini, terus mengalami evolusi dalam segala aspek, baik bentuk maupun makna," jelasnya kepada Parboaboa, Sabtu (21/4/2024).
Suryo menjelaskan bahwa pergeseran makna dalam tarian Tortor merupakan hasil dari apa yang ia sebut "kontestasi budaya." Ini terjadi ketika nilai-nilai lama bertemu dengan agensi dan budaya baru yang terus berkembang.
"Setiap generasi memaknai esensi Tortor secara berbeda, dan proses transmisi nilai antargenerasi memainkan peran penting dalam dinamika ini," imbuhnya.
Dia juga menekankan bahwa perubahan makna ini bisa berupa penambahan atau pengurangan, yang mencerminkan ciri khas dari budaya yang dinamis. "Secara sederhana, ini adalah proses alami yang terjadi dalam setiap budaya," ujarnya.
Lebih lanjut, Suryo memaparkan pentingnya kesadaran kolektif dalam membawa produk budaya seperti Tortor ke arah yang diinginkan. Dia juga menyoroti peran penting para budayawan dalam proses ini, meskipun mengakui bahwa saat ini terdapat krisis dalam jumlah budayawan.
"Perubahan persepsi terhadap tradisi sering kali menghubungkan nilai tradisional dengan nilai kontemporer dan komersial, mempengaruhi cara kita memandang dan menyalurkan pengetahuan budaya," jelasnya.
Menurut Suryo, meskipun Tortor mungkin mengalami komodifikasi karena perubahan konteks sosial, tujuan utamanya harus tetap pada transmisi makna dan nilai yang terkandung di dalamnya.
"Pertanyaan yang harus kita tanyakan adalah, apakah nilai-nilai ini hanya dipahami oleh orang Batak, atau ada upaya untuk membuatnya bisa dinikmati oleh publik lebih luas?" tanya Suryo.
Dia juga menekankan pentingnya tidak membandingkan budaya tradisional dengan modern secara kontradiktif, mencatat bahwa pandangan yang merendahkan budaya tradisional dibandingkan dengan modern adalah warisan kolonialisme.
"Kita perlu mengubah paradigma kita sehingga tidak lagi melihat budaya tradisional sebagai sesuatu yang inferior," ujarnya tegas.Suryo berpendapat bahwa menganggap budaya yang dikenal sebagai modern bisa juga dianggap sebagai tradisional, tergantung pada konteks dan perspektifnya.
"Tidak ada yang harus merasa rendah diri atau malu ketika membicarakan budayanya kepada dunia," katanya. Suryo pun mengingatkan bahwa orang Batak harus sadar akan pentingnya memelihara dan menghargai identitas mereka melalui warisan budaya.
"Kita harus siap menyambut perubahan dan inovasi, namun tetap memperhatikan nilai dan makna yang terkandung dalam setiap aspek budaya kita," pungkasnya.