PARBOABOA, Jakarta - Bullying masih menjadi masalah serius di Indonesia. Setiap hari, ribuan anak di berbagai sekolah menghadapi kekerasan fisik dan mental dari teman sebayanya.
Sebuah survei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 41% siswa pernah mengalami bullying di sekolah.
Angka ini menimbulkan pertanyaan penting, apa peran guru dalam mencegah dan mengatasi bullying di sekolah?
Bullying dapat berbentuk fisik, verbal, maupun siber. Bullying fisik melibatkan kekerasan seperti memukul atau mendorong.
Sementara bullying verbal mencakup penghinaan, ejekan, atau ancaman. Bullying siber terjadi melalui media sosial atau aplikasi pesan instan.
Semua jenis yang disebutkan tersebut bisa meninggalkan dampak serius.
Anak-anak korban bullying cenderung merasa cemas, depresi, bahkan memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrim seperti bunuh diri.
Menurut data Yayasan Sejiwa, lebih dari 50% korban bullying mengalami penurunan prestasi akademis.
Selain itu, korban juga lebih rentan mengalami gangguan psikologis, seperti rendah diri dan isolasi sosial.
Peran Guru
Guru memegang peranan penting dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan mendukung.
Menurut Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, guru bertanggung jawab melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, termasuk bullying.
Guru harus menjadi pihak pertama yang tanggap dan responsif terhadap kasus-kasus bullying.
Namun, tugas guru tidak berhenti pada deteksi. Guru juga harus memahami faktor-faktor yang menyebabkan bullying.
Menurut psikolog anak, salah satu penyebab utama bullying adalah kurangnya pengawasan dan perhatian dari orang dewasa, termasuk guru.
Guru harus bisa mengenali tanda-tanda awal bullying seperti perubahan perilaku atau penurunan semangat belajar pada siswa.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan guru untuk mencegah bullying.
Pertama, guru harus menciptakan lingkungan kelas yang inklusif.
Melibatkan semua siswa dalam diskusi tentang perbedaan dan toleransi akan membantu mereka memahami pentingnya menghargai satu sama lain.
Kedua, guru bisa menerapkan aturan kelas yang tegas terhadap bullying. Aturan ini harus dibuat dengan partisipasi siswa sehingga mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaganya.
Guru juga perlu memastikan bahwa semua siswa mengetahui konsekuensi dari tindakan bullying.
Ketiga, penting bagi guru untuk membangun hubungan yang baik dengan siswa.
Menurut penelitian dari Pusat Kajian Perlindungan Anak Indonesia (PKPA), siswa yang merasa dekat dengan guru cenderung lebih terbuka untuk melaporkan kasus bullying.
Hubungan yang baik ini juga bisa mendorong siswa untuk saling mendukung dan menciptakan lingkungan yang positif.
Jika bullying sudah terjadi, guru harus mengambil langkah cepat dan tepat.
Pertama, guru perlu berbicara dengan semua pihak yang terlibat — baik korban, pelaku, maupun saksi. Dialog ini penting untuk memahami situasi secara menyeluruh.
Kedua, guru harus memberikan sanksi yang adil dan mendidik kepada pelaku.
Sanksi ini sebaiknya fokus pada pembelajaran, bukan hukuman yang mempermalukan. Contohnya, pelaku bisa diminta untuk mengikuti program rehabilitasi atau konseling.
Ketiga, guru perlu bekerjasama dengan pihak lain seperti konselor sekolah, orang tua, dan pihak berwenang jika diperlukan.
Dukungan dari berbagai pihak ini penting untuk memastikan bahwa kasus bullying dapat ditangani dengan baik dan tidak terulang lagi.
Namun, guru sering menghadapi beberapa tantangan dalam menangani bullying.Salah satunya adalah kurangnya pelatihan khusus.
Berdasarkan laporan dari Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) pada tahun 2022, 60% guru di Indonesia mengaku tidak pernah mendapatkan pelatihan tentang cara menangani bullying.
Hal ini menunjukkan pentingnya program pelatihan yang mendalam untuk para pendidik.
Selain itu, seringkali terdapat tekanan dari pihak sekolah atau orang tua pelaku yang ingin menyelesaikan kasus bullying dengan cepat dan tanpa publikasi.
Guru harus bisa mengambil posisi netral dan tetap berpegang pada prinsip keadilan dan perlindungan anak.
Upaya Hukum
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memiliki berbagai regulasi untuk menangani bullying.
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sudah mengatur tentang hak anak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan.
Selain itu, Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan mengharuskan sekolah untuk membentuk tim khusus yang bertugas menangani kasus kekerasan, termasuk bullying.
Walau demikian, pelaksanaan regulasi ini di lapangan masih menghadapi banyak hambatan.
Guru sering kali merasa bingung dengan prosedur yang harus diambil ketika menemukan kasus bullying.
Untuk itu, dibutuhkan penyelarasan antara kebijakan dan praktik di lapangan agar guru lebih mudah menjalankan perannya.
Dengan kebijakan yang tepat, pelatihan yang cukup, dan dukungan dari seluruh elemen masyarakat, diharapkan kasus bullying di Indonesia dapat berkurang secara signifikan.
Saatnya kita semua, terutama para guru, mengambil langkah nyata untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua anak.
Editor: Norben Syukur