PARBOABOA, Jakarta - Baru-baru ini, sejumlah media secara vulgar memberitakan kasus dugaan pelecehan seksual oleh seorang guru terhadap muridnya di Gorontalo.
Beberapa media bahkan dengan terang-terangan menyebut nama korban, meski hal ini jelas melanggar pasal 5 Kode Etik Jurnalistik.
Yang lebih menyedihkan, ada media yang menampilkan tangkapan layar video saat insiden itu terjadi. Meskipun video tersebut diburamkan, penayangan ini menunjukkan kurangnya rasa empati dan tanggung jawab media terhadap korban.
Padahal dalam dunia jurnalistik, pemberitaan kasus pelecehan seksual seharusnya dilakukan dengan penuh kehati-hatian.
Media wajib menjaga privasi korban dan memastikan bahwa pemberitaan tidak memperparah trauma yang dialami. Kode etik ini menjadi pedoman untuk menyajikan informasi secara adil, tanpa merugikan pihak yang terlibat.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menyayangkan kecenderungan media-media tersebut dan menyebutnya terperangkap dalam "nafsu berburu klik dan viral."
Dalam rilis pada Kamis, (26/9/2024), Ketua AJI, Nany Afrida, mengatakan media massa memiliki peran penting dalam memberikan edukasi kepada publik, khususnya dalam membentuk sudut pandang yang tepat terhadap pemberitaan kekerasan seksual.
Media massa, kata Nany, "sepatutnya mendidik publik agar lebih cerdas dalam membangun perspektif atas berita kekerasan seksual."
Sebagai bentuk dukungan terhadap korban pelecehan seksual, AJI mendorong sejumlah media mematuhi kode etik jurnalistik secara ketat.
Apalagi, dalam kasus yang terjadi di Gorontalo, kata mereka, kerahasiaan identitas tetap harus dijaga karena "korban adalah murid yang belum berusia dewasa."
Ketaatan terhadap kode etik ini penting terutama untuk melindungi korban dari dampak negatif lebih lanjut, baik secara psikologis maupun sosial.
Selain itu, dalam proses peliputan, jurnalis harus selalu bersikap profesional dengan menyajikan berita yang tetap "menghormati hak privasi dan menghormati pengalaman traumatik korban."
Selanjutnya, AJI menghimbau, jika masyarakat menemukan pelanggaran kode etik dalam pemberitaan terkait kekerasan seksual, mereka dapat melaporkannya kepada Dewan Pers.
Proses pengaduan ini bisa dilakukan melalui situs resmi Dewan Pers dengan mengisi formulir pengaduan dan mengirimkannya ke email yang telah disediakan.
Hal ini menjadi upaya kolektif untuk memastikan bahwa media tetap berpegang teguh pada etika dan memberikan kontribusi yang positif dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
Kode etik jurnalistik merupakan pedoman moral yang mengatur perilaku wartawan dalam menjalankan profesinya. Pedoman ini tidak hanya berisi tentang pertimbangan moral, tetapi juga mengatur hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh setiap jurnalis.
Melansir laman resmi Dewan Pers, Kode Etik Jurnalistik terdiri dari 11 Pasal. Di dalam pasal 5 disebutkan, "wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan."
Pada pasal yang lain, wartawan diharapkan bersikap independen dalam menjalankan tugasnya, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan bebas dari niat buruk.
Selain itu, setiap wartawan diwajibkan untuk bekerja secara profesional, selalu memverifikasi informasi sebelum dipublikasikan, serta tidak mencampurkan fakta dengan opini yang bersifat menghakimi. Asas praduga tak bersalah juga harus selalu diterapkan dalam pemberitaan.
Wartawan juga diharuskan menolak suap dan tidak menyalahgunakan profesinya untuk kepentingan pribadi serta menghindari pemberitaan yang mengandung prasangka atau diskriminasi berdasarkan suku, ras, agama, jenis kelamin, atau status sosial.
Selebihnya, wartawan tetap menjaga privasi narasumber, kecuali ada alasan kepentingan publik yang mendesak untuk melaporkannya. Jika terdapat kesalahan dalam pemberitaan, wartawan harus segera memperbaiki dan meminta maaf kepada publik.
Terakhir, kode etik menegaskan bahwa wartawan harus memberikan ruang bagi hak jawab dan koreksi dari pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan.
Persaingan Bisnis Media
Pelanggaran terhadap etika jurnalisme bisa terjadi karena berbagai faktor. Menurut Wartawan Senior, Uni Zulfiani Lubis, salah satu penyebabnya adalah persaingan ketat dalam bisnis media.
Dalam kasus kekerasan seksual, misalnya, identitas korban seharusnya dijaga kerahasiaannya. Namun, kenyataannya, prinsip ini sering kali dilanggar.
Demi menarik perhatian pembaca, banyak media berusaha menghadirkan berita yang lebih mendalam dan eksklusif dengan mewawancarai orang-orang terdekat korban, termasuk keluarga.
Langkah ini dilakukan untuk memikat minat publik agar mereka tertarik membaca atau menonton berita tersebut. Sayangnya, masyarakat yang diwawancarai sering kali tidak menyadari dampaknya. Tanpa sengaja, mereka bisa saja mengungkap identitas korban, yang akhirnya dapat merusak masa depan korban itu sendiri.
Uni menegaskan, para jurnalis seharusnya memahami bahwa tindakan ini melanggar kode etik. Namun, banyak media memilih untuk mengabaikan aturan tersebut karena takut kalah bersaing jika terlalu mematuhi etika.
Mereka khawatir, jika terlalu berpegang pada kode etik, berita mereka tidak akan menarik dibandingkan media lain. Padahal, menjaga etika jurnalisme adalah kewajiban yang seharusnya dipegang teguh oleh setiap media.
Sementara itu, Abdullah Alamudi, anggota Dewan Pers periode 2007-2010, menyoroti bahwa rendahnya gaji wartawan menjadi salah satu faktor utama pelanggaran kode etik jurnalistik.
Banyak wartawan dibayar di bawah upah minimum regional dan hanya bergantung pada kartu pers untuk penghasilan tambahan. Kondisi ini, kata dia mendorong mereka membuat berita tanpa mematuhi standar etika yang ada.
Dalam praktiknya, wartawan sering kali menghasilkan berita yang menyerang ranah pribadi seseorang, mencemarkan nama baik, atau bahkan melakukan pembunuhan karakter terhadap pelaku maupun korban.
Tak mengherankan, tambahnya, di tahun 2021, Dewan Pers menerima rata-rata 20 pengaduan setiap bulan, atau sekitar 240 hingga 250 pengaduan per tahun, terkait dugaan pelanggaran kode etik jurnalistik.
Fenomena ini, kata dia, menunjukkan bahwa banyak media masih kesulitan mempertahankan standar etika dalam menghadapi tekanan ekonomi dan kompetisi.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengakui pemberitaan kekerasan seksual yang tidak berpegang teguh pada kode etik jurnalistik masih marak terjadi baik di media cetak, televisi maupun media online.
"Ini hasil riset Dewan Pers bekerjasama dengan Universitas Tidar," pungkasnya, Rabu (18/9/2024).
Ia mengatakan, banyak pelanggaran kode etik terjadi di media online karena fokus dan berorientasi pada clickbait. Akibatnya, pemberitaan sering kali menjadi vulgar, mengandung stereotip, diskriminasi, dan cenderung memberi pelabelan negatif terhadap korban.
Kondisi ini memberi dampak buruk, bahkan cenderung menempatkan korban sebagai pihak yang disalahkan.
Untuk mengatasi masalah ini, kata dia, ke depan, perlu ada pedoman yang jelas bagi jurnalis guna meningkatkan kapasitas mereka dalam meliput isu kekerasan seksual.
Pedoman ini akan menjadi acuan penting dalam mitigasi dan penanganan pemberitaan, agar berita terkait kekerasan seksual disajikan dengan lebih etis dan sesuai kode etik jurnalistik.
Apalagi, penanganan kekerasan seksual, tegasnya, tidak hanya tanggung jawab aparat hukum, tetapi juga melibatkan media. Media memiliki peran penting dalam menciptakan pemberitaan yang kondusif dan mendukung upaya perlindungan korban.
Editor: Gregorius Agung