PARBOABOA, Jakarta - Dalam peringatan Hari Kemerdekaan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day (WPFD) hari ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyerukan 6 tuntutan terkait kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
Pasalnya, Ketua Umum AJI, Sasmito menilai, tanpa perlindungan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, maka dapat membahayakan hak asasi manusia lainnya.
“Kebebasan pers menjadi bagian penting dalam kebebasan berekspresi yang tercantum dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai hak untuk mencari, menerima, memberikan informasi dan gagasan melalui media apapun dan tanpa memandang batas,” kata Sasmito dalam keterangan tertulis yang diterima Parboaboa, Rabu (03/05/2023).
Ia menuturkan jika UU ITE masih menjadi undang-undang yang berbahaya bagi jurnalis online.
AJI mencatat, sejak UU ITE lahir pada 2008 dan direvisi pada 2016, sedikitnya ada 38 jurnalis yang dilaporkan menggunakan pasal tersebut. Lalu, empat di antaranya dipenjara karena dinyatakan bersalah oleh Pengadilan.
Selain itu, serangan terhadap jurnalis dan organisasi media independen juga tak kunjung berakhir.
“Tahun 2022, AJI Indonesia mencatat jumlah serangan mencapai 61 kasus dengan 97 jurnalis menjadi korban dan 14 organisasi media menjadi target serangan,” ucapnya.
“Pada Januari 2023 hingga 30 April 2023, terdapat 33 kasus, meningkat dibandingkan periode yang sama pada 2022 sebanyak 15 kasus,” lanjutnya.
Kondisi yang sama juga rupanya turut dialami oleh pembela Hak Asasi Manusia (HAM) dan kelompok kritis lainnya yang menjadi target kriminalisasi, serangan digital, disinformasi dan berbagai upaya delegitimasi karena menyampaikan pendapat dan ekspresinya yang sah secara online maupun offline.
Oleh karenanya, di Hari Kemerdekaan Pers Sedunia ini, AJI menyuarakan 6 tuntutan:
1. Pemerintah dan DPR RI untuk mencabut dan atau membatalkan berbagai regulasi dan pasal-pasal bermasalah yang menghambat kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, utamanya UU ITE, PP 71 Tahun 2019 dan Permenkominfo 5/2020, UU Cipta Kerja;
2. Presiden RI dan Kepala Kepolisian RI menghentikan seluruh kasus pemidanaan terhadap jurnalis dan pembela HAM karena karya jurnalistik dan ekspresinya yang sah;
3. Presiden RI dan Kepala Kepolisian RI untuk mengusut secara transparan dan independen kasus-kasus serangan fisik dan digital terhadap jurnalis dan pembela HAM;
4. Pemerintah membuat mekanisme perlindungan terhadap pembela HAM, di dalamnya termasuk jurnalis, dengan melibatkan lembaga-lembaga negara lain terkait, komunitas pers, dan masyarakat sipil independen lainnya.
5. Pemilik media untuk tidak mengintervensi ruang redaksi dengan tidak menyensor karya jurnalistik dan opini yang kritis;
6. Seluruh jurnalis untuk patuh terhadap Kode Etik Jurnalistik, memberikan ruang pemberitaan bagi mereka yang tidak dapat bersuara, dan mengarusutamakan isu-isu publik dalam seluruh pemberitaan.