PARBOABOA, Jakarta - Tahun 2024 menjadi cermin buram bagi kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia.
SETARA Institute mencatat lonjakan pelanggaran yang menunjukkan sinyal kemunduran, tepat di tengah transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Laporan SETARA Institute mengungkap bahwa kondisi KBB di 2024 justru mengalami regresi, sementara komitmen pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto pun masih belum tampak jelas.
Selama satu dekade terakhir, negara dinilai gagal menciptakan ekosistem toleransi yang sehat. Meski kepemimpinan baru mulai menggeliat, belum ada tanda kuat bahwa perbaikan akan segera datang.
Bagaimana tidak, sepanjang tahun 2024, tercatat 260 peristiwa pelanggaran KBB dengan total 402 tindakan. Ini merupakan lonjakan dari 2023, yang mencatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan.
Peneliti SETARA, Achmad Fanani Rosyidi, menyebutkan bahwa pelanggaran dilakukan oleh dua kubu besar: aktor negara (159 tindakan) dan aktor non-negara (243 tindakan).
Ia menyoroti dinamika politik nasional—terutama Pemilu 14 Februari dan Pilkada 27 November—sebagai salah satu penyebab meningkatnya pelanggaran.
Meski politik identitas berbasis agama tak semasif 2014 dan 2019, gejala politisasi agama masih muncul di sejumlah daerah.
Menjelang lengser, fokus pemerintahan Jokowi lebih condong pada agenda transisi kekuasaan, alih-alih pemajuan KBB. Akibatnya, isu krusial ini kurang mendapat perhatian negara.
Fanani menegaskan, “Pemerintah terlalu fokus pada transisi, sehingga isu KBB makin tersisih dari ruang kebijakan.”
Penodaan Agama Melejit
SETARA mencatat tiga sorotan utama tahun ini. Pertama, lonjakan intoleransi masyarakat dari 26 (2023) ke 73 (2024), serta diskriminasi oleh negara dari 23 menjadi 50 tindakan.
Kedua, ledakan penggunaan pasal penodaan agama dari 15 kasus menjadi 42 kasus.
Ketiga, meskipun gangguan terhadap tempat ibadah turun (65 menjadi 42), masalah pendirian rumah ibadah masih jauh dari selesai.
Dari 159 tindakan oleh aktor negara, sebagian besar berasal dari pemerintah daerah (50), diikuti polisi (30), Satpol PP (21), TNI dan Kejaksaan (masing-masing 10), serta Forkopimda (6).
Di sisi non-negara, pelanggaran terbanyak datang dari organisasi kemasyarakatan keagamaan (49), kelompok warga (40), dan individu warga (28).
Menariknya, kontribusi Majelis Ulama Indonesia (21 tindakan) dan tokoh masyarakat (10) menunjukkan bahwa konservatisme semakin mengakar di ruang publik.
Sementara secara geografis, Jawa Barat kembali mencatat pelanggaran tertinggi dengan 38 peristiwa.
Disusul oleh Jawa Timur (34), DKI Jakarta (31), Sumatera Utara (29), Sulawesi Selatan (18), dan Banten (17). Sebaran ini konsisten dengan tahun-tahun sebelumnya.
Tugas Besar untuk Rezim Prabowo
Kepemimpinan Prabowo-Gibran dihadapkan pada ujian berat: mengembalikan arah kebijakan KBB yang kian melenceng.
Fanani menyebut praktik intoleransi dan diskriminasi masih subur, menandakan jarak lebar antara retorika dan implementasi.
“Pemerintah sebelumnya cenderung abaikan isu kebebasan sipil demi kepentingan ekonomi-politik. Kini saatnya pembalikan arah dimulai,” ujar Fanani.
Karena itu, SETARA mendorong pemerintahan baru mengambil langkah nyata. Pertama, menjadikan pemajuan KBB sebagai agenda prioritas nasional dalam RPJMN dan RPJP.
Kedua, mempercepat pembentukan Badan Regulasi Nasional serta merancang Perpres tentang Kerukunan Umat Beragama.
Ketiga, menguatkan kapasitas pemerintah daerah melalui kebijakan tata kelola inklusif.
Yang tak kalah penting, negara harus memimpin secara moral dan sosial—bukan sekadar menciptakan narasi simbolis, melainkan membangun budaya toleransi yang mengakar di masyarakat.