Warga Tersingkir, Investor Berkuasa: Krisis Akses Pantai di Labuan Bajo

Deretan Vila di Atas Permukaan Laut Labuan Bajo. (Foto:IG/@labuanbajoupdate)

PARBOABOA, Jakarta - Labuan Bajo, mutiara wisata Nusa Tenggara Timur, kini berada di persimpangan antara keindahan alam dan kerakusan investasi.

Pantai-pantai yang dulunya bisa diakses bebas oleh warga kini berubah menjadi kawasan eksklusif, dikelilingi villa mewah dan bangunan hotel di atas laut.

Suara warga dan pegiat lingkungan mulai menggema, menolak pelan tapi pasti pengikisan ruang hidup dan publik yang sah.

Belakangan ini di Labuan Bajo, pembangunan hotel dan vila terus menggeliat. Sayangnya, pembangunan ini kerap merampas akses publik ke pantai dan laut.

Pantai-pantai yang dulunya menjadi ruang bersama kini dijaga ketat dan nyaris tak bisa diakses warga.

Seperti yang dialami Rafael Todowela, seorang warga lokal yang ditolak saat hendak mengunjungi Pantai Binongko.

"Pantai yang dulu untuk umum, sekarang jadi milik pribadi investor," ujarnya kepada media,

Ia bahkan terlibat adu mulut dengan petugas keamanan ketika tetap nekat masuk karena merasa pantai adalah ruang publik.

Merespon situasi ini, Doni Parera, aktivis lingkungan, menggambarkan kondisi ini seperti “perlahan mati karena racun”.

Lebih lanjut ia mengatakan, alam yang seharusnya dijaga, justru dikorbankan untuk pembangunan. Penebangan mangrove, tambang ilegal di daerah aliran sungai, hingga perburuan satwa di kawasan Taman Nasional Komodo terus terjadi. 

Sayangnya, penegakan hukum tak menyentuh praktik-praktik ini. “Investor diberi ruang luas, tapi komodo dan warga makin terdesak,” kata Doni kepada media, Jumat, (4/4/2025).

Doni menyebut, pembangunan hotel yang masif di sempadan pantai tak hanya mengganggu ekosistem, tetapi juga mengusir warga dan nelayan dari ruang hidup mereka.

Menurutnya, pemerintah terlihat lebih memihak pada investor ketimbang rakyat. Bahkan ruang publik seperti pantai pun kini sulit diakses.

“Kalau terus begini, rakyat bisa saja mengambil tindakan sendiri,” ancamnya.

 Kenyataannya, polemik tak hanya soal pembatasan akses, tapi juga legalitas bangunan di atas laut.

Meski regulasi memperbolehkan pemanfaatan ruang laut, izin khusus dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tetap wajib.

Daniel Johan dari Komisi IV DPR RI berjanji akan menelusuri apakah proyek-proyek ini sudah memenuhi izin dan aturan.

Setiap bangunan harus memiliki Izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dan mempertimbangkan dampak pada lingkungan serta masyarakat lokal.

Sementara, anggota DPRD Manggarai Barat, Inocentius Peni, menekankan bahwa investasi boleh saja masuk, tapi tak boleh mengorbankan hak warga.

Namun, ia khawatir semangat mengejar investasi justru menyisihkan nelayan dan warga lokal dari laut mereka sendiri.

“Anak-anak mereka yang dulu bermain di pantai, sekarang tak punya ruang lagi,” katanya.

Beragam Reaksi

Wakil Gubernur NTT Johni Asadoma mengaku terkejut mengetahui banyak vila dibangun di atas laut.

Namun berbeda dengan Johni, Wakil Menteri Pariwisata, Nih Luh Puspa, melihat sisi positifnya.

Ia menilai pembangunan hotel di atas laut sah-sah saja selama membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.

“Yang penting tidak merusak lingkungan dan ada edukasi ke wisatawan dan pengelola,” katanya, Sabtu (12/04/2025)

Badan Peduli Taman Nasional Komodo dan Perairan Sekitarnya (BPTNKPS) turut menyampaikan keprihatinan mendalam melalui surat resmi yang ditujukan kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Dalam surat tersebut, BPTNKPS menyoroti sejumlah pelanggaran serius yang tengah mengancam keberlangsungan ekosistem dan kehidupan masyarakat lokal di kawasan Taman Nasional Komodo serta wilayah perairan sekitarnya.

Salah satu kekhawatiran utama yang mereka sampaikan adalah pelanggaran terhadap sempadan pantai dan praktik pengavelingan tanah negara secara ilegal.

Aktivitas ini dinilai telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Zonasi Pesisir, yang seharusnya melindungi garis pantai dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.

Selain itu, pembangunan yang berlangsung di kawasan tersebut telah menimbulkan pencemaran laut akibat limbah yang dibuang sembarangan.

BPTNKPS menegaskan bahwa situasi ini menuntut adanya pemantauan ketat serta analisis Amdal yang mendalam demi menilai dampak lingkungannya secara menyeluruh.

Tak kalah mengkhawatirkan, reklamasi dan pembangunan tanpa kendali disebut telah menjadi ancaman nyata terhadap terumbu karang dan kehidupan biota laut lainnya.

Ekosistem yang selama ini menjadi penopang kehidupan di perairan Komodo terancam rusak jika tidak ada upaya penanggulangan yang cepat dan tegas.

Yang lebih menyedihkan lagi, proyek-proyek pembangunan ini juga berdampak langsung pada masyarakat pesisir, khususnya nelayan lokal.

Akses mereka terhadap laut kini terganggu oleh kehadiran kapal wisata dan vila yang mendominasi area tangkapan tradisional mereka, sehingga banyak yang tersingkir dari ruang hidup dan sumber penghidupannya.

Marselinus Agot, Ketua BPTNKPS, menekankan bahwa persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.

Ia menuntut adanya tindakan hukum yang tegas serta pengawasan tata ruang yang ketat dari pihak berwenang.

Menurutnya, pembangunan di kawasan strategis seperti Komodo harus melalui proses Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), disusun dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), serta dianalisis secara spasial agar tetap berada di jalur yang tepat dan berkelanjutan.

Sejumlah hotel dan restoran yang memiliki bangunan di atas laut di antaranya Ta’aktana, Katamaran, Ayana, Mawatu (sedang dibangun), Le Bajo, dan Resort 86.

Ta’aktana bahkan memiliki sembilan bangunan menyerupai rumah adat Manggarai di atas air.

Katamaran juga memiliki bangunan hingga 200 meter dari garis pantai. Keberadaan mereka menjadi simbol dari konflik antara investasi dan hak publik.

Labuan Bajo bisa tetap jadi surga wisata dunia tapi bukan dengan mengorbankan alam dan warga lokal.

Sudah saatnya pembangunan dilakukan dengan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan ekologi.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS